Penduduk Bintang-Bintang
Suatu hari aku duduk termangu di depan laptopku. Ditemani segelas teh hangat yang asapnya tak lagi menyembul keluar dari gelas. Pikiranku melayang-layang entah kemana, mencari apapun yang sebenarnya aku sendiri tak tahu. Di kepalaku terlintas banyak memori dan kenangan masa kecil yang perlahan-lahan mengambil alih seluruh fokusku pada realita. Aku masih ingat betul, waktu kecil dulu aku selalu jadi penggemar setia majalah Bobo. Majalah anak-anak yang baru-baru ini aku sadar bukan original Indonesia. Bapak-ibuku sering bilang membaca adalah jendela dunia. Merekalah yang menjadi pengaruh utama kesukaanku pada cerita.
Setiap sore, bapakku tak akan pernah lupa membawakan satu edisi majalah Bobo yang sebenarnya bukan edisi terbaru Minggu itu. Walaupun begitu aku cukup apresiasi niatnya. Dengan senyum yang sangat ceria akan kusambut majalah itu dari tangannya. Satu persatu halaman akan kubaca dengan teliti, sampai aku hampir hafal setiap tulisannya. Namun, dari semua itu ada satu cerita gambar yang selalu kunantikan setiap harinya, kisah Oki dan Putri Nirmala di negeri dongeng. Aku tak akan pernah luput membaca kisahnya setiap hari. Di setiap kisah mereka selalu kutemukan berbagai kisah ajaib yang sungguh luar biasa. Di cergam itu Putri Nirmala, Oki, dan Ratu Bidadari seolah tiga kombinasi ajaib yang bisa mengatasi semua masalah. Aku tumbuh besar dengan cerita dan keajaiban mereka. Aku percaya dengan keajaiban, kebaikan, dan semua hal-hal baik yang pasti akan terus ada dalam dunia ini. Setidaknya itu yang ingin aku percayai.
Namun nyatanya keajaiban yang ingin kupercayai itu tak berlangsung lama. Bapak jatuh sakit tak lama setelah itu. Lima belas tahun yang lalu ia pulang ke rumahnya di surga. Ibu bilang Tuhan lebih sayang pada bapak. Jadi Dia jemput bapak lebih cepat dari pada yang lain. Sejak saat itu keajaiban-keajaiban yang selama ini ingin kupercayai perlahan-lahan meninggalkanku seorang diri. Aku yang masih delapan tahun saat itu dipaksa dunia melihat realita. Bukannya aku tumbuh kurang kasih sayang. Hanya saja aku tumbuh dan dibesarkan oleh realita, oleh keadaan-keadaan dan masalah yang membuatku perlahan mempertanyakan eksistensi keajaiban yang selama ini kupercayai.
Saat ini, aku kembali ke realita menatap kosong laptopku yang terlihat sudah tidak kuat lagi dinyalakan dua hari berturut-turut. Kusesap cangkir teh yang sudah tidak hangat itu sekali lagi. Pahit. Sering aku bilang pada diri sendiri dan kawan-kawanku, bahwa yang punya masalah, perasaan, dan pikiran di dunia ini bukan hanya kita seorang. Jadi, janganlah bersikap seolah-olah dunia mau kiamat besok, apalagi saat sedang menghadapi masalah. Jangan jadi drama queen kataku. Saat kuingat diriku yang dengan sombongnya mengatakan itu, aku hanya bisa tertawa getir. Entah dapat keberanian dari mana diriku di masa lalu sampai bisa-bisanya mengucapkan itu.
Di tahun ke 21 aku menghirup udara bumi, baru kusadar bahwa dunia bukanlah tempat yang seindah apa yang ada di pikiranku. Manusia-manusia ciptaan Tuhan itu ternyata tidak sebaik Putri Nirmala, Oki, atau Ratu Bidadari yang selama ini kupercayai. Masalah yang kuhadapi ternyata tak akan selesai cuma dengan berharap pada keajaiban. Aku sampai di titik dimana keajaiban terasa begitu jauh dan mustahil. Hanya bualan pendongeng untuk anak-anak sebelum mereka pergi ke alam mimpi.
Manusia-manusia ciptaan Tuhan itu ternyata tidak sebaik Putri Nirmala, Oki, atau Ratu Bidadari yang selama ini kupercayai.
Dengan segala pikirku itu, aku beranjak ke dekat jendela kamarku. Kusesap teh pahit yang sudah tak hangat itu sekali lagi sambil membuka jendela dan menengadah ke langit. Di Kota padat penduduk ini langit malam begitu sepi. Cahaya bintang yang katanya penuh keajaiban itu seolah sirna tergantikan oleh terangnya cahaya kota. Kutelusuri langit malam ini, mencari sisa bintang ajaib yang siapa tau singgah di langit kota ini. Ketemu. Dari jauh aku bisa lihat secercah kecil pendar bintang yang tak terlalu terang. Sambil termangu kutatap bintang itu lekat-lekat. Saat menatapnya kubayangkan lagi seluruh isi bumi, alam semesta, planet-planet, benda-benda langit dan seluruh ciptaan-Nya. Seketika pikiranku kosong, seolah ada seseorang yang menampar wajahku dengan keras.
Bagaimana bisa aku bilang bahwa keajaiban itu hanya bualan, omong kosong pendongeng belaka. Bagaimana bisa kukatakan bahwa keajaiban itu tak pernah ada dalam hidupku. Aku lupa. Aku sudah lupa bahwa akulah bagian dari keajaiban itu. Coba bayangkan, aku adalah salah satu dari tujuh koma delapan miliar manusia di bumi ini. Aku adalah satu dari miliaran manusia yang masih diijinkan Tuhan bernapas di planet ini. Planet bumi yang juga satu-satunya planet di galaxy ini yang punya kehidupan. Di salah satu galaxy dari jutaan galaxy lain di alam semesta. Ajaib bukan. Bagaimana bisa kukatakan bahwa keajaiban itu tak pernah ada. Padahal, aku adalah salah satu bukti dari keberadaannya.
Aku lupa. Aku sudah lupa bahwa akulah bagian dari keajaiban itu.
Post a comment