Batas Ruang untuk Suci
“Ojok lali ngkok sore mapak adikmu jam 16.30, kretone tekan jam 16.47”. Bunyi pesan singkat dari orang yang seminggu ini tidak menghubungiku sama sekali. Menanyakan kabarku pun tidak. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini, atau lebih tepatnya mencoba membiasakan diri. Dari kecil aku memang tak pernah merasa punya tempat di keluarga beranggotakan 4 orang ini. Bapak sibuk mencari nafkah yang hasilnya hanya cukup untuk kehidupan kami sehari-hari. Ibu sibuk mencari penghasilan tambahan untuk membantu bapak. Tini yang sibuk menerima seluruh kasih sayang mereka dan ada Suci, diriku yang selalu diberi tugas bertanggung jawab atas adikku.
Anehnya dulu aku tak pernah mempertanyakan kewajiban yang diembankan padaku ini. Tidak satu kalipun. Sampai saat aku duduk di bangku SMA dan sedang mempersiapkan kuliahku. Saat itu hendak pendaftaran kuliah melalui jalur SBMPTN, karna sayangnya aku tidak beruntung lolos di jalur SNMPTN. Untuk mengikuti ujian SBMPTN para calon mahasiswa baru diminta membayar uang pendaftaran sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Sayangnya saat itu aku hampir tidak bisa mengikuti seleksi SBMPTN karena orangtuaku mengaku tak sanggup memberiku uang pendaftaran. Aku hampir merelakan mimpiku untuk melanjutkan kuliah saat itu. Saat dengan baik hatinya bu Lastri tetanggaku meminjami ibu uang untuk pendaftaran ujian SBMPTN. Tak lama kemudian setelah aku dinyatakan berhasil lolos seleksi SBMPTN dan masuk ke Universitas impianku, aku baru tahu ternyata ibu dan bapakku sebenarnya sudah menyiapkan uang pendaftaran itu. Tapi, mereka memilih memberikan uang itu untuk uang saku Tini yang kebetulan mengikuti study tour ke Bali.
Setelah kejadian itu, aku menyadari satu hal. Selama ini sepertinya aku memang tidak pernah punya tempat di keluarga ini. Bahkan, aku pernah bertanya-tanya siapa aku di mata bapak-ibuku? Apakah aku memang putri mereka? Atau hanya anak yang dilahirkan untuk sekedar bertanggung jawab atas adikku saja? Sejak saat itu kuputuskan tak akan pernah lagi berharap pada orangtuaku. Persetan dengan keluargaku yang tak pernah menganggap ada aku dirumahnya. Kini aku sudah bisa mandiri. Susahpun tak apa selama aku tak perlu lagi berurusan dengan mereka. Sudah tiga tahun aku mencoba banting tulang di tanah perantauan, bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar, tugas kuliah, dan pekerjaan yang hasilnya hanya cukup menyambung hidupku sehari-hari.
Selama tiga tahun ini pula tak pernah sekalipun aku minta uang pada orangtuaku. Pernah satu kali, di tahun pertamaku kuliah ibu tiba-tiba menelponku, bertanya bagaimana kabarku dan kondisiku disini. Dengan senyum kecut hanya bisa kujawab aku baik-baik saja. Walaupun saat itu sudah tiga hari aku hanya bertahan dengan dua sachet energen untuk mengisi energiku. Bukannya aku sombong dan sok kuat. Aku hanya tak mau lagi berharap pada sesuatu yang sudah pasti mengecewakan. Untuk apa? Kalau pada akhirnya hanya membuatku kecewa.
Lucunya orang-orang yang tak pernah sekalipun penasaran dengan kondisi hidupku di tanah rantau ini, beberapa hari lalu menelepon. Katanya ada hal serius yang ingin mereka bicarakan. Aku sempat kaget dan bertanya-tanya ada hal serius apa sampai mereka repot-repot meneleponku. Padahal mengirim pesan menanyai kabarku saja hanya seingat mereka. Setelah mereka selesai bicara di telepon aku hanya bisa tertawa getir. Ternyata hal serius yang ingin mereka bicarakan itu soal Tini, adikku yang sebentar lagi mau mempersiapkan diri masuk kuliah. Ia ingin berkunjung ke beberapa kampus di kota ini. Salah satunya kampusku. Katanya tujuan Tini kesini untuk memastikan dan memantapkan diri kampus mana yang paling tepat untuknya nanti.
Sepanjang perjalanan menjemput Tini aku tak merasakan apapun. Hanya saja memori-memori masa lalu saat aku harus mengalah untuknya terus muncul di kepala. “Mbak Suci!! Ya Allah, wis tak enteni awit mau lo mbak. Tak pikir awakmu lali njemput aku”, gerutu Tini dengan mulutnya yang tak bisa diam barang lima menit itu. “Sorry, Sorry cedek kost macet soale”, jawabku seadanya sambil memberikan helm padanya. “Berarti iki langsung nang kost e mbak Suci ta? Aku luwe e mbak, mau nak kreto gak tuku maem soale”, cerocosnya sambil beringsut naik keatas motorku. “Yowis, mampir maem sek ae. Soale aku dino iki yo gak sempet masak”, ujarku sambil membawa motor menjauhi stasiun.
Sepanjang perjalanan dari stasiun ke warung, sampai kost Tini tak berhenti bertanya dan menceritakan banyak hal yang sebenarnya malas kutanggapi. Mulai dari cogan di kereta, betapa panasnya kota ini, dan banyak hal-hal tak penting lainya yang hanya kujawab seasalnya saja. “Ndang turu, besok bar kelas tak ajak keliling kampusku. Terus sorene nang kampus sing mbok pengen. Awakmu balik Lusa isuk kan?”, kataku sambil menatakan tempat tidur untuk Tini. “Loh, berarti gaiso jalan-jalan no mbak?”, ucapnya menyambut pertanyaanku tadi. “Lah emange awakmu mrene ape ndelok kampus opo mlaku-mlaku? Emange awakmu disangoni bapak?”, timpalku. “Ya loro-karone lah. Lek iso ndelok kampus trus mlaku-mlaku yo asik to mbak. Iyo wingi dikeki sangu bapak aku, jare bapak dikon nggae sangu nang kene”, ucapnya.
Malam itu aku tak punya energi lagi meladeni ucapan adikku. Rasa lelah, sedikit marah, kesal, dan sakit hati menemani tidurku malam itu. Keesokan harinya segera kuantar Tini sesuai dengan rencana kami malam sebelumnya. Berkeliling kampus dan menjadi tour guidenya melihat beberapa sudut kota. “Mbak awakmu betah a tinggal nang kene?”, Tanya Tini tiba-tiba. “Lapo emange?”, timpalku. “Yo gak popo si, cuman kok prosoku urip ning kene gak seenak opo sing nang bayanganku ya?”, jawab Tini. “La emang sopo sing ngomong urip ning kene gampang dan menyenangkan?”, timpalku lagi. “Loh tak pikir mbak krasan gak pernah muleh, gak pernah telpon ibuk-bapak mergo wis seneng urip nang kene?”, jawabnya dengan nada polos. “Bukane ibuk bapak sing gak pernah penasaran mbek aku?”, ucapku lagi. “Ogak kok, ibuk-bapak gapernah telpon opo nakokne mbak, soale wedi ganggu mbak sing wis koyok betah nang kene”, Jawab Tini yang sontak membuatku terdiam.
Aku Suci. 22 tahun, putri pertama yang saat ini menempuh semester 7 dan sudah merantau selama 3 tahun. Selama ini kupikir aku tak pernah punya ruang di dalam keluargaku. Tak pernah diberi peran lain selain bertanggung jawab atas adikku. Aku sudah memutuskan tak mau lagi berurusan dengan keluargaku. Pun berharap mereka memperhatikanku. Tapi sepertinya kejadian di awal tahun 2022 ku ini membuat semua hal itu patut dipertanyakan lagi. Benarkah aku memang tak pernah punya ruang di keluargaku? Atau aku saja yang tak pernah mau merangkul ruang yang diberikan mereka padaku itu?
Post a comment